Telah Datang Kepadamu Mau‘izhah dari Allāh
Mawlana Shaykh Nour Kabbani
Zawiyah Fenton, Michigan
13 Juli 2025
A‘ūdzu billāhi minasy-syaitānir-rajīm.
Bismillāhir-Rahmānir-Rahīm.
Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāhil-‘aliyyil-‘aẓīm.
Destūr yā Sayyidī Quṭb al-Mutaṣarrif, madad yā Sulṭān al-Awliyā.
Destūr yā Sayyidī wa Mawlāyā.
Madad yā Rijāl Allāh.
Assalāmu ‘alaikum wa raḥmatullāhi ta‘ālā wa barakātuh.
Insyā Allāh beberapa kata, dan kemudian kita semua bisa pergi tidur.
Allāh (swt) telah berfirman. Semoga Allāh (swt) mengizinkan kita untuk menemukan jalan menuju Surga. Mengapa semua ayat ini…? Mengapa Allāh (swt) berbicara kepada kita? Sebagaimana Mawlānā Shaykh Nāẓim (q) mengatakan bahwa Dia sedang menetapkan arah bagi kalian. Al-Qur’ān al-Karīm menetapkan petunjuk menuju Surga. Al-Qur’ān al-Karīm juga menetapkan arah menuju Jahannam. Dan kalian bisa memilih: jika kalian ingin arah menuju Surga—ini jalannya; kalian ingin menuju Jahannam—ini jalannya. Bukan hanya di Akhirat, tetapi juga di dunia. Jika kita mengikuti nasihat… Syekh, jika engkau menasihati saya, dan saya tidak mengikuti nasihatnya, apakah engkau senang dengan saya? Apa yang kau katakan? Engkau akan mengatakan, “Dia tidak mempertimbangkan nasihatku. Dia tidak menghiraukan aku.” Bukankah itu benar?
Jika engkau menjadi sukarelawan, dan berkata, “Hei, Nūr, aku tahu apa yang baik untukmu. Izinkan aku menasihatimu,” lalu saya berkata, “Aku tidak butuh nasihatmu. Aku bisa menemukan jalanku sendiri.” Apakah engkau menyukainya?
Allāh (swt), Sang Pencipta, menasihati umat manusia. Dan apa yang mereka lakukan? Mereka berkata, “Kami tidak membutuhkan nasihat-Mu.” Allāh (swt) berfirman dalam al-Qur’ān al-Karīm:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Yā ayyuhā an-nāsu qad jā’atkum mau‘izhah min rabbikum wa syifā’un limā fī aṣ-ṣudūr wa hudan wa raḥmah lil-mu’minīn
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (mau‘izhah) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Surah Yūnus, 10: 57)
Telah datang kepadamu dari Allāh mau‘izhah. Mau‘izhah adalah nasihat, artinya jalan menuju Surga dan jalan menuju Neraka.
Jadi, seorang ayah menasihati anaknya, “Wahai anakku, jika engkau mengikuti jalan ini, kau akan berakhir dalam masalah besar.” Bukankah itu benar, Syekh? “Wahai anakku, jika engkau mengikuti jalan ini, kau akan berakhir bahagia, puas, dan nyaman.” Apa yang terjadi jika anak kalian tidak mendengarkan kalian? Pertama-tama kalian jengkel kepadanya, tetapi kemudian kalian berkata, “Ahh…lakukan apa pun yang kau inginkan.”
Sebagaimana Mawlānā Shaykh Nāẓim (q) telah berkata kepada kami—semoga Allāh mensucikan asrarnya—seperti yang saya katakan sebelumnya dalam ṣuḥbah-ṣuḥbah sebelumnya, saya bersama Mawlānā Shaykh Nāẓim (q) hampir sepanjang hidup saya ketika saya tumbuh, sampai saya datang ke Amerika Serikat. Dan kemudian saya juga menghabiskan waktu bersamanya. Mawlānā Shaykh Hishām (q), beliau selalu bepergian ke berbagai tempat, dan saya berada di Chicago, jadi saya akan menemuinya beberapa kali setahun, sampai tahun 2017 ketika saya datang ke sini. Jadi, sebagian besar pengetahuan saya—jika bisa disebut pengetahuan—sebagian besar dari apa yang saya ingat adalah apa yang saya dengar dari Mawlānā Shaykh Nāẓim (q) sejak saya kecil. Itulah sebabnya terkadang saya banyak mengutip beliau. Mungkin orang berkata, “Mengapa?” Karena saya dibesarkan bersamanya. Saya dibesarkan bersamanya di Syam ketika saya kecil. Saya dibesarkan bersamanya di Lebanon ketika beliau biasa mengunjungi kami selama sebulan kadang-kadang. Saya dibesarkan bersamanya di Istanbul ketika saya sedang belajar di Turkiye. Jadi saya mengambil begitu banyak dari apa yang telah beliau katakan.
Jadi Mawlana Shaykh Nāẓim (q) berkata, Allāh telah berfirman dalam al-Qur’ān al-Karīm, “I‘malū mā syi’tum, berbuatlah sesuka kalian.” (Surah Fuṣṣilat, 41: 40). “Aku telah mengirimkan nasihat kepadamu.” Rasūlullāh (saw) telah melakukan yang terbaik untuk menyampaikan nasihat itu kepada manusia. Dan apa yang mereka lakukan? Mereka menyingkirkannya. Nabadza farīqun mina alladzīna ūtu al-kitāba kitāballāhi warā’a ẓuhūrihim. Mereka melemparkan Kitābullāh ke belakang mereka. (Surah Al-Baqarah, 2: 101)
Allāh (swt) menunjukkan kepada mereka jalan yang baik. Allāh (swt) menunjukkan kepada mereka jalan yang benar. Allāh (swt) telah memberitahu mereka dalam Kitāb-Nya apa yang seharusnya mereka harapkan. Tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka tidak mempertimbangkan Kitāb Allāh (swt). Mereka tidak mempertimbangkan nasihat-Nya. Maka kalian pun jengkel kepada mereka. Mereka tidak memberikan nilai kepada Allāh (swt). Lihat betapa sombongnya manusia.
Jadi Allāh (swt)—kata-kata-Nya, kalam-Nya, nasihat-Nya—semuanya adalah demi kebaikan kita sendiri. Dan insyā Allāh, kita bisa mengikutinya. Apa yang Dia katakan dalam al-Qur’an al-Karīm? Pagi ini saya sampai pada suatu ayat ketika saya sedang membacanya.
أَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ: إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ، كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
Asta‘īdzu billāh: Innahum kānū qabla dzālika muḥsinīn kānū qalīlan mina al-layli mā yahja‘ūn.
Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam (Surah Adz-Dzāriyāt, 51: 16–17).
Mereka biasa tidur sedikit sekali pada waktu malam. Siapa mereka? Mereka adalah para muḥsinīn. Siapa para muḥsinīn itu? Mereka adalah ahlul muḥabbah wal-musyāhadah. Iḥsān adalah menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, benar? Rasūlallāh (saw) bersabda bahwa jika kalian ingin berada tingkat iḥsān itu, menjadi seorang muḥsin—jika kalian ingin menjadi orang yang memiliki keunggulan–Mā syāʾ Allāh semua orang ingin unggul di bidangnya. Semua orang ingin jadi yang teratas dalam profesinya. Tetapi bagaimana dengan Mukmin? Apakah kalian juga ingin unggul di bidang kalian sebagai seorang Mukmin? Iman adalah bidang? Islam adalah bidang? Kita belum pernah mendengarnya. Ya, Awliyā’ Allāh telah unggul di bidang itu. Anbiyā’ Allāh telah unggul di bidang itu. Rasulullah (saw) unggul di bidang itu. Bagi mereka terbuka apa yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan.
Orang-orang ingin pergi hingga ke Mars atau mereka ingin pergi ke—saya tidak tahu planet yang mana. Rasulullah (saw) tanpa roket telah melintasi tujuh langit. Bagaimana mungkin? Karena beliau unggul di bidangnya. Tetapi kini, tak ada yang ingin unggul dalam iman. Tak ada yang ingin unggul dalam Islam.
Jadi Allah (swt) berfirman, innahum kānū qabla dzālika muḥsinīn—orang-orang baik ini, inna al-muttaqīna fī jannātin wa ‘uyūn khudhū mā ātāhum rabbuhum, innahum kānū qabla dzālika muḥsinīn–orang-orang yang baik ini, orang-orang saleh ini, orang-orang yang bertaqwa ini, mereka mengikuti nasihat Tuhan mereka dan mereka berusaha mengikuti jalan yang benar. Mereka adalah muḥsin, mereka adalah ahlul muḥabbah, orang-orang yang mencintai Allah. Mereka adalah ahlul musyāhadah, orang-orang yang menyaksikan kehadiran Tuhannya.
Bagaimana kita mengenali mereka? Apa tanda-tanda mereka? Mā syāʾ Allāh, sekarang semua orang berkata, “Aku mempunyai penglihatan spiritual.” “Aku mempunyai visi rohaniah.” Semua orang berkata, “Aku bisa melihat apa yang tidak kalian lihat.” Tapi Allah (swt) berfirman bahwa mereka ada tanda-tandanya. Perhatikan: apakah mereka tidur di malam hari, ataukah mereka bangun dan terjaga di sebagian besar malam? Allāh (swt) mengatakan bahwa orang-orang yang “melihat,” yaitu ahlul muḥabbah wal musyāhadah, orang-orang yang memiliki penglihatan spiritual, mereka menyembah Tuhan mereka seakan-akan mereka melihat-Nya. Itulah iḥsān.
Jadi orang-orang ini—para muḥsinīn—mereka yang “melihat,” mereka memiliki visi adalah orang-orang yang tidur sangat sedikit di malam hari. Bukan karena mereka menderita depresi atau mengalami serangan panik atau mereka begadang sepanjang malam lalu tidur sepanjang hari. Bukan seperti itu. Para muḥsinīn sejati adalah mereka yang tidak tidur di malam hari. Itulah salah satu tanda khas mereka. Kānū qalīlan mina al-layli mā yahja‘ūn, mereka tidur sangat sedikit di malam hari, dan wa bil-asḥāri… kau tahu ayatnya Ashraf? Kau harus tahu al-Qur’an, kau orang Arab.
وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ
Wa bil-asḥāri hum yastagfirūn.
dan pada akhir malam mereka memohon ampunan. (Surah Adz-Dzāriyāt, 51: 18).
Karena, mā syāʾ Allāh, begitu banyak dari mereka yang berkata, “Kami terjaga sepanjang malam.” Tapi apa yang terjadi? Sebelum fajar, atau ketika fajar tiba, mereka malah tertidur.
Jadi, Allah (swt) berfirman bahwa tanda mereka juga bahwa selama waktu saḥr—yaitu antara fajar dan isyrāq, sekitar satu jam dua puluh menit dan kadang-kadang satu jam empat puluh menit di musim panas—itulah waktu di mana mereka sibuk–dengan apa? Dengan istighfār.
Jadi, mereka berdoa sepanjang malam. Mereka berdoa sepanjang malam. Dan ketika waktu saḥr tiba, setelah fajar, apa yang mereka lakukan? Mereka mengucapkan astaghfirullāh, untuk apa? Untuk ibadah yang mereka anggap tidak berguna dan tidak berharga yang telah mereka lakukan. Mereka tidak melihat ibadah mereka sebagai sesuatu yang pantas. Mā syāʾ Allāh, sekarang kita shalat lima rakaat, lalu orang lain bilang itu bid‘ah. Siapa yang tahu? Kita tidak pernah tahu lagi apakah orang masih shalat atau tidak. Semua orang datang dengan versinya sendiri. Ada yang berkata, “Saya dengar syekh ini mengatakan kalau kau melakukan shalat ini sekian rakaat, dengan sekian banyak bacaan, dan di antara rakaat kedua dan ketiga kau lakukan ini dan itu.” Tinggalkan semua itu. Jika kalian memang pantas untuk ibadah seperti itu, maka Allah (swt) akan membukakan hati kalian saat waktunya tiba. Jangan terburu-buru. Tapi orang-orang terburu-buru. Mereka ingin pergi ke bulan bahkan sebelum mereka mengambil beberapa langkah di tanah. Mereka ingin terbang sebelum belajar berjalan. Jangan terburu-buru. Segalanya akan terbuka ketika kalian sudah siap.
Jadi, tanda khas para muḥsinīn itu adalah bahwa mereka tidak tidur di malam hari. Dan ketika waktu saḥr tiba, mereka sibuk dengan istighfār, dengan astaghfirullāh. Mereka memohon ampun atas kekurangan yang mereka sadari. Mereka melihat kekurangan dalam ibadah mereka. Mereka tidak menganggapnya bernilai; mereka katakan, “Yā Rabbī, astaghfirullāh.” itulah yang Allah (swt) sukai.
Awliyā’ Allāh berkata bahwa inna aḥabba aḥibbā’ī, orang yang paling dicintai di antara orang-orang yang dicintai adalah mereka yang membaca istighfār di waktu saḥr. Mereka meriwayatkan bahwa Allah (swt) berfirman, “Orang yang paling Aku cintai adalah mereka yang sibuk dengan astaghfirullāh selama waktu saḥr—waktu sebelum isyrāq, satu jam atau satu setengah jam sebelumnya. Ketika Aku ingin menghukum orang di bumi, lalu Aku melihat mereka dan Aku melihat mereka melakukan istighfār, maka Aku menahan azab-Ku.”
Mereka inilah abdal, awliyā’ Allāh. Karena mereka, kalian mendapatkan rahmat. Karena mereka, kalian mendapatkan hujan dan air. Karena mereka, Allah (swt) menahan hukuman yang tadinya hendak Dia turunkan ke bumi. Karena para awliyā’ Allāh ini.
Jadi mereka bangun sepanjang malam. Mā syāʾ Allāh, orang-orang berkata, “Kami terjaga sepanjang malam.” Tetapi ketika fajar datang, mereka tidur. Maka jika ada orang yang mengatakan, “Aku mendapat penglihatan,” pergilah ke rumahnya—jika ia mengizinkan—dan lihatlah apa yang mereka lakukan: apakah mereka memang bangun di sebagian besar malam?
Mereka bertanya kepada Rasulullah (saw), “Kapan waktu malam yang paling utama?” Beliau menjawab, “Niṣfu al-layl,” yaitu tengah malam. Sekarang kapankah waktu tengah malam itu? Apakah jam 1? Jam 12? Sebenarnya itu bukan tengah malam yang sebenarnya. Itu hanya konvensi waktu. Yang benar, kalian menghitung dari waktu maghrib hingga fajar, lalu cari titik tengahnya. Itulah Niṣfu al-layl. Dan Rasulullah (saw) bersabda, wa qalīlun fā‘iluh, hanya sedikit orang yang benar-benar melakukannya.
Saya ingat Mawlānā Shaykh Nāẓim (q) biasa berkata, “Aku biasa pergi setiap malam pada tengah malam kepada Grandsyekh.” Beliau bangun pada tengah malam. Beliau bangun di tengah malam, melakukan semua shalat, shalat tahajud, lalu memulai dengan Ṣuḥbah. Itulah yang saya ingat apa yang biasa dikatakan Mawlānā Shaykh Nāẓim (q) tentang Grandsyekh. Maka waktu terbaik untuk bangun adalah tengah malam—dan itulah saat yang tersulit untuk bangun. Karena kita sering berkata, “Malam ini sangat panjang. Tengah malam… apa yang akan aku lakukan sampai fajar?” Lalu kita pun berkata, “Aku tidak tahu, biarkan aku kembali tidur.” Begitu banyak dari kita yang melakukan itu. Padahal tengah malam adalah waktu terbaik untuk bangun.
Dikatakan, Awliyā’ Allāh berkata, “Malam itu panjang, jangan memperpendeknya dengan tidurmu.” Bukankah itu? Jangan membuat malam singkat dengan tidurmu. Malam itu panjang. Dan siang itu terang, jangan membuatnya gelap dengan dosa-dosamu.” Kata-kata hikmah awliyā’ Allāh selalu tepat sasaran. Malam itu panjang, jangan membuatnya pendek dengan tidur kalian. Dan siang itu terang, jangan gelapkan dengan dosa kalian. Jika kalian mengikuti keduanya, kalian termasuk dari ahl al-jannah, dari ahl al-musyāhadah, dari ahl al-muḥabbah. Maka mari kita berusaha melakukan yang terbaik.
Dikisahkan ada seorang pria—mā syāʾ Allāh dia biasa bangun di malam hari. Suatu malam cuaca sangat dingin. Dia mulai menggigil. Dia berasal dari kalangan fuqarā’, dari para darwīs, yang tidak punya apa-apa. Maka dia pun menggigil dan menangis. Lalu dia mendengar suara berkata, “Yā Dāwūd…” Namanya Dāwūd. Suara itu berkata, “Anamnahum wa iqażnāka, Kami membiarkan mereka tidur, tetapi Kami membangunkanmu. Dan sekarang kau menangis?”
Yang lainnya dibiarkan tidur karena mereka tidak layak berada dalam Hadirat Allah (swt). Jika seseorang tidak datang untuk hadir di Hadirat Allah (swt), maka ketahuilah bahwa itu bukan karena dia tidak mau, tetapi karena Allah tidak menginginkannya di sana. Ada mujālasah, yaitu duduk bersama Allah (swt). Ketika kalian menyebut Allah (swt), kalian sedang duduk bersama-Nya. Ketika kalian mengingat Allah (swt), kalian sedang bersama-Nya. Namun Dia berkata, “Aghyār”—mereka yang menginginkan selain Allah (swt)—mereka tidak diizinkan masuk ke dalam Hadirat-Nya.
Jadi ketika kalian melihat seseorang tidak datang untuk dzikir atau tidak datang untuk shalat, ketahuilah bahwa Allah tidak menginginkannya. Itulah sebabnya mereka tidak diundang. Mereka berkata, “Oh, akunya yang tidak datang.” Tidak, sebenarnya bukan kalian yang tidak datang—tetapi Allah yang tidak menginginkan kalian di sana.
Jadi, Dia berfirman, “Yang lain Aku biarkan mereka tidur. Aku tidak butuh… Aku tidak menginginkan mereka di Hadirat-Ku. Tetapi engkau—Aku menyukaimu. Dan engkau menangis?” Setelah dia mendengar suara itu, dikatakan bahwa dia tidak pernah tidur lagi pada malam hari. Dia berdiri. Dia adalah pengikut, salah satu wali besar.
Jadi Allah (swt) berfirman, kānū qalīlan mina al-layli mā yahja‘ūn wa bil-asḥāri hum yastagfirūn. Jadi, inilah dua karakteristik yang harus diikuti oleh orang-orang. Pertama, tidur—apa yang kalian butuhkan dari malam hari, seperti yang biasa dikatakan oleh Mawlānā Shaykh Nāẓim (q). Untuk kita, beliau biasa mengatakan, berapa lama? Lima jam, enam jam, tujuh jam—bukan lebih dari itu. Lebih dari itu, tubuhmu menjadi lelah. Kalian bisa tidur enam jam, lalu bangun untuk sisa malam jika kalian bisa.
Selama musim panas, seperti yang saya katakan kemarin, saya mulai melewatkan beberapa awrād karena saya juga tidur. Tetapi, insyā’ Allāh, sebanyak yang kalian bisa, bangunlah di malam hari dan shalat. Hadirlah saat waktu saḥr, tinggallah di waktu saḥr dan lakukan istighfār, dan semoga Allah (swt) mengizinkan kita untuk menemukan jalan menuju surga dengan cara itu. Karena setelah surga ada cara lain—itu adalah jalan al-fuqarā’, julasā’ullāh, seperti yang diceritakan: mereka yang miskin, orang yang membutuhkan adalah orang yang duduk bersama Allah (swt). Insyā’ Allāh, kita bisa menjadi bagian dari mereka—dari orang yang diizinkan berada di Hadirat-Nya.
Menurut saya itu sudah cukup. Saya juga lelah, belum terlalu banyak tidur. Tetapi, insyā’ Allāh, kita bisa melanjutkan di waktu yang lain insyā’ Allāh.
Wa min Allāh at-tawfīq, bi ḥurmatil ḥabīb (saw), wa bi-sirri Sūrat al-Fātiḥah.